Salah satu frasa yang paling populer dari ranah bahasa Jawa adalah frasa satrio piningit dan Ratu Adil. Frasa tersebut sering disebut dalam karya-karya sastra Jawa lama hingga menjadi perbincangan di warung-warung kopi. Ratu Adil sendiri merupakan tokoh eskatologis tradisional penegak keadilan yang kedatangannya senantiasa didambakan[1].
Pembicaraan Ratu Adil tersebut tidak lepas dari ramalan-ramalan Raja Jayabaya, Raja Kediri yang memerintah antara tahun 1135 sampai 1157. Ia meramalkan jikalau Pulau Jawa akan mengalami masa kekacauan, tetapi akhirnya akan dibawa ke kebesaran baru oleh sang Ratu Adil Herucakra[2]. Ramalan-ramalan ini dalam abad XIX mempunyai pengaruh besar atas kesadaran politik di Jawa dan berulang-ulang terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil di bawah pemimpin-pemimpin yang menganggap diri sebagai Ratu Adil[3].
Dambaan terhadap datangnya Ratu Adil ini tidak hanya hidup pada masyarakat Jawa. Hampir semua agama dan aliran kepercayaan terdapat konsepsi tentang milenarisme layaknya Ratu Adil, seperti Imam Mahdi (Islam), Mesiah (Nasrani), Cargo(Papua Nugini), dan ajaran tentang Catur Yoga (Buddha). Pada umumnya kepercayaan ini muncul manakala sebuah kelompok masyarakat ditimpa gejolak-gejolak dan bencana, yang mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan pada masyarakat. Akibatnya, mereka merindukan datangnya masa lalu yang penuh dengan keindahan, kemakmuran, kejayaan dan keadilan[4]. Atau bahkan mereka menantikan sang juru selamat yang akan membawa masyarakat tersebut pada keselamatan dan kejayaan.
Ratu Adil, Antara Gerakan dan Pemberontakan
Bagi mistikus Jawa, model jagat gedhe (makrokosmos) tampil sebagai sebuah paradigma bagi manusia, si jagat cilik (mikrokosmos). Jika manusia tunduk pada “Tuhan” dan mempraktikkan mistisisme dengan tekun atau menunaikan kewajiban agamanya dengan taat untuk tujuan itu, keselarasan mereka dengan eksistensi yang lebih tinggi akan membuahkan kondisi moral dan material yang bermanfaat di dunia ini. Begitupun sebaliknya, suatu masyarakat yang tertib, adil, dan makmur menunjukkan hubungan yang harmonis dengan alam dan kodrati[5].
Keharmonisan itu dapat dicapai jika dari Raja, sebagai orang yang memusatkan suatu takaran kosmis pada dirinya, mengalir ketenangan dan kesejahteraan ke daerah sekeliling. Tidak ada musuh dari luar atau kekacauan dari dalam karena kekuasaan yang berpusat dalam penguasa sedemikian besar, sehingga semua faktor yang bisa mengganggunya, seakan-akan telah dikeringkan (Magnis-Suseno, 2003: 100).
Jika seorang Raja atau pemimpin tidak mampu membawa ketenteraman dan kejayaan maka dianggap ia belum sepenuhnya menguasai kekuatan-kekuatan kosmis. Akibatnya pasti akan terjadi banyak kekacauan dan huru hara. Peristiwa-peristiwa kekacauan ini juga dapat merupakan alamat bahwa masyarakat menghadapi suatu masa kekacauan politis, suatu gangguan kosmis yang oleh orang Jawa disebut zaman edan (zaman gila). Pada zaman edan inilah, seorang Ratu Adil diharapkan muncul untuk membawa masyarakat pada keadaan tata tentrem kerta raharja[6].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar